[Fiksi Mini] Tentang Sebuah Rasa


Sudah setahun lebih kita dekat, saling curhat melalui telpon dan SMS. Meski satu Madrasah dengannya, aku tak pernah sekalipun ngobrol secara langsung. Tapi, melalui telpon dia sangat banyak bicara. Teman-teman satu madrasah pun tak ada yang tahu kalau aku dekat dengannya. Namaku Itsna, aku seorang siswi kelas 12 IPA dan 3 bulan lagi aku lulus dari Madrasah Aliyah.

Tentang dia yang dekat denganku adalah teman cowok yang juga satu Madrasah denganku. Rofiq namanya. Dia siswa kelas 12 IPS. Namun saat bertemu secara langsung di Madrasah kita seperti orang asing. Aku yang memang sangat pemalu, tak pernah punya nyali menegurnya saat bertemu di Madrasah. Dia pun selalu menundukkan kepala saat bertemu denganku, sifatnya sangat dingin, namun hangat saat dibalik telpon. Sungguh cowok yang aneh.


****
Matahari mulai terbenam dan memancarkan cahaya merah bernama senja. Aku yang sedari tadi menghabiskan waktu membaca buku di depan rumah mulai membereskan cangkir tehku yang sudah terlihat ampas dan gula yang tak larut kemudian beranjak untuk bersiap diri menunaikan sholat Maghrib. Ayah sendiri yang selalu menjadi imam sholat, masjid yang cukup jauh dari rumah tidak menyurutkan kami sekeluarga untuk sholat berjama’ah. Usai sholat maghrib pun ayah selalu mengajariku mengaji, menyimakku membaca makna jawa pegon kitab sulam safinah yang sebelumnya telah ayah bacakan terlebih dahulu.

Ayah memang lulusan pesantren, dengan ayah sendirilah aku belajar mengaji, mulai dari mengenal huruf hija’iyah hingga sekarang aku mulai bisa menulis dan membaca arab pegon. Kata beliau itu semua bekal untukku belajar di pesntren salafiyyah setelah aku lulus dari Madrasah Aliyah nanti. Bukan ayah tidak mengizinkanku melanjutkan ke perguruan tinggi, namun beliau lebih setuju seandainya aku belajar di pesantren terlebih dahulu dan menikah. Aku boleh kuliah dengan syarat sudah menikah agar ada yang selalu mengawasiku saat kuliah.

Usai sholat isya’ aku selalu menghabiskan waktu di dalam kamar, menonton TV di ruang tengah bagiku bukanlah hal yang menarik. Aku lebih tertarik menghabiskan waktu di kamar dengan membaca novel, menulis diary, dan berkirim salam melalui radio. Saat asyik mendengarkan radio,  tiba-tiba ponselku berdering tanda SMS masuk. Aku tidak perlu menebak dari siapa SMS itu, karena hampir setiap malam, rofiq selalu menyapaku melalui SMS dan tak jarang pula dia menelponku. Bahkan ia selalu menanyakan perkembanganku mengaji kitab dengan ayah dan tak jarang pula ia membantuku mengerjakan tugas Madrasah.

Rofiq memang cowok paling cerdas di Madrasah, juara umum selalu ia dapatkan. Meski kita berbeda jurusan, ia tetap saja mampu membantu mengerjakan tugasku di kelas IPA. Rofiq juga sering mengajakku diskusi melalui telpon. Melontarkan pertanyaan yang kadang aku tak bisa menjawab, seperti manusia diciptakan untuk apa? Tujuan hidup itu apa? Dan manusia itu di bumi untuk apa? Sungguh pertanyaan-pertanyaan aneh yang sampai saat ini pun belum aku temukan jawabannya. Dan anehnya aku mau saja belajar dan berdiskusi dengannya.

“Assalamualaikum Istna?” suara Rofiq dari balik telpon
“Walalaikum Salam.”
“Sudah ketemu belum jawabannya?” tanya rofiq.
“Uh, soalnya susah. Kamu aja deh yang jawab.”
“ Selalu nggak pernah berusaha mikir, bukankah manusia dibekali otak buat mikir. Kalau seandainya isi otak kamu di buka mungkin otakmu masih mulus dan terlihat masih baru karena nggak pernah dipakai buat mikir.”
“kamu sendiri sih ngasih soalnya yang susah, nanti ,deh, nanya ayah dulu jawabannya apa.”
“Ye, curang ... mau praktisnya doank!, aku tuh ngasih pertanyaan ke kamu biar kamu mau mikir dan berusaha untuk jawab.”
“Coba kalau pertanyaanya ... mau nggak kamu jadi pacar aku, pasti aku cepet jawabnya.”
“Ha Ha Ha ngarep”

Entah aku tak pernah mengerti kenapa begitu perhatiannya dia kepadaku. Bahkan dia selalu jadi teman curhat yang menyenangkan, selalu saja ada cara untuk membesarkan hatiku. Aku pun lama-lama menganguminya dan mungkin mulai menaruh hati kepadamya. Namun dia tak pernah sekalipun mengatakan suka atau sekedar tertarik kepadaku. Aku benci tentang rasa ini, hampir satu tahun lebih kita dekat namun dia tak pernah sekalipun mengungkapkan rasa cinta kepadaku. Apalagi saat di madrasah, dia benar-benar seperti tak pernah mengenalku.
#Semangatbelajarmenulis
#yangpentingtulisdulu


Tulisan ini diikutsertakan dalam ODOP bersama Estrilook Community
#Day10


You Might Also Like

0 komentar